INI KOPIMU SAYANG






Oleh Esme Fadliha


Sederhana saja. Kau bilang kopi buatanku adalah yang terenak yang pernah mampir ke lidahmu. Padahal sudah kukatakan berkali-kali racikannya sama saja dengan yang dihidangkan oleh yang lain di kedai ini. Suhu yang pas saat menjerang air, serbuk kopi yang memang kami olah sendiri dari biji kopi pilihan, dan (pesan terpenting dari paman) mengaduknya dengan perasaan. Perasaan tulus melayani dan ingin mempersembahkan yang terbaik pada sang peminum.

Sepintas sangat tidak masuk akal. Apa pengaruhnya cara mengaduk kopi dengan rasanya? Sampai sekarang pun aku tidak tahu dan tidak pernah mengerti, tapi sudah kubuktikan bertahun-tahun bahwa kedai kopi paman tidak pernah sepi pengunjung. Misteri tentang adukan itu tetap kunikmati saja, karena aku lebih sibuk memikirkan bagaimana semua kombinasi itu bisa bersinergi menghasilkan rasa yang memikat siapapun peminumnya.

Aku masih ingat pertama kali kau datang. Jaket almamater kuning terpasang pas di bahu bidangmu. Simbol intelegensia dari rombongan manusia muda yang setiap tahun datang ke kampung halamanku. Selama beberapa tahun terakhir nama program kunjungan ini berubah-ubah, tapi yang paling kuingat adala KKN, Kuliah Kerja Nyata.

Kau bilang kedai kopi paman termahsyur diantara senior-senior yang pernah datang ke kampung ini. Gaungnya membuatmu penasaran...sangat penasaran karena kau adalah pecandu kopi yang idealis.  Satu pesanan tentunya akan membuktikan kebenaran berita itu.

Tegukan pertama.

Kuperhatikan matamu berbinar. Kau mengangguk-angguk pada rekan-rekan semejamu. Segera saja kunjunganmu menjadi kunjungan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan entah bagaimana ceritanya, lidahmu menolak untuk meminum racikan dari tangan selain tanganku.

Berlebihan menurutku, tapi tak dapat kusangkal matamu yang berbinar setelah menyesap kopi itu membuatku gugup. Debar-debar aneh muncul tanpa bisa kukendailkan. Rasanya menyenangkan memperhatikanmu berdiskusi ramai dengan rekan-rekan jaket kuningmu, membicarakan tentang apa yang bisa kalian lakukan di kampung ini. Selalu ada energi meletup-letup disana. Energi yang tak dapat kusangkal menjadi magnet luar biasa bagi mataku.

Tak kusadari pada akhirnya kunjunganmu kau lakukan seorang diri. Lebih sering begitu. Selalu di meja yang sama. Meja yang menghadap ke hamparan sawah dan mendapat asupan angin segar beraroma padi itu. Kau selalu punya alasan untuk menarikku duduk menemanimu menatap senja yang turun perlahan. Memperkenalkan latteespressomoccachino, capuccino dan nama-nama kopi yang terdengar asing di telingaku. Berbicara tentang banyak hal. Rasanya aku selalu ingin punya alasan untuk tinggal dan menyimak semua yang kau bicarakan. Dan debar itu, terbawa hingga malam tiba. Terus terasa ketika dua tahun berikutnya kau menghilang setelah saat-saat menyenangkan itu. Kau tidak pernah kembali lagi setelah program kunjunganmu selesai. Hingga suatu sore kau muncul dan mencariku.

Matamu masih berbinar ketika meneguk cangkir yang kuberikan. Dan selalu kuingat senyum itu. Senyum ketika kau memintaku untuk menyeduhkan kopi di setiap pagimu. Aku agak kecewa. Sungguh aku ingin dengar alasan lain, bukan hanya sekedar kopi. Tidak yang sesederhana itu.

Kau tertawa dan kemudian bertanya, tahukah aku apa perbedaan wortel, telur, dan bubuk kopi? Aku menggeleng. Wortel adalah benda keras, tapi apa yang terjadi ketika ia dijerang air bersuhu tinggi? Ia akan menjadi lunak dan mudah untuk dipatahkan. Telur adalah benda rapuh meski dari luar berkulit keras, dan apa yang terjadi jika ia direbus? Ia akan mengeras dan kaku. Namun berbeda dengan bubuk kopi. Ketika mendapat perlakuan sama, semakin panas airnya, maka ia akan semakin harum dan menjadi lebih istimewa. Aku tetap tidak mengerti.

“Tahukah kau,” katamu kemudian, “aku menganggap kau seistimewa bubuk kopi.  Betapapun berat ujian yang alam berikan untukmu, semua itu mustahil membuatmu jatuh. Kau justru akan semakin kuat dan menjadi lebih harum. Kau tidak akan rapuh seperti wortel, atau menjadi sekeras telur. Aku membutuhkan orang seperti itu seumur hidupku.” Dan menurutmu rasa kopiku adalah implementasi dari kesederhanaan, ketulusan, dan loyalitas. Semua itu menjadi alasan kuat untuk kau memilihku.

Kau menatap, menanti aku berkata-kata. Namun aku memilih untuk beranjak ke dapur kedai. Ketika aku kembali, kau menunduk kecewa. Kuletakkan secangkir kopi baru di hadapanmu dan tersenyum. Minumlah…rasai cinta di dalamnya…rasai kesetiaanku dalam setiap teguknya…aku bersedia meracik kopi untukmu berapa kalipun kau menginginkannya dalam sehari..karena inilah caraku mengatakan “Ya”

***

Kopi di atas meja itu tidak lagi mengepul. Volumenya belum berkurang sama sekali karena kami berdua memang sama-sama belum menyentuhnya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Durasinya sama persis dengan asap yang perlahan mulai berhenti menguap dari cangkir kami.

“Saya mohon mbak...pengertian mbak akan sangat berarti bagi saya...” Akhirnya ia bersuara lagi setelah waktu yang terentang dalam diam itu mungkin menyiksanya juga.

Perlahan aku meraih cangkirku. Gemetar. Menyesapnya dan menyadari betapa kalor sudah lama meninggalkan cangkir itu. Kulakukan itu bukan karena aku haus, tapi karena aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya berpikir, mungkin saja cairan kafein ini bisa memberi asupan serotonin pada tubuhku yang terasa hampa. Kuharap cairan itu bisa mengembalikan nyawaku yang seakan melayang keluar dari raga selama mendengar perempuan itu berbicara.

“Kami saling mencintai mbak..”

Suaranya mulai tercekat di tenggorokan. Aku tahu ada yang tertahan disana. Sesuatu yang sudah dipendam selama dua tahun terakhir.

“Aku juga mencintainya...” Gumamku.

“Tapi mas Wisnu tidak bahagia bersama mbak...” ujarnya sedikit menaikkan nada meski masih ada yang tertahan disana.

Benarkah? Apakah itu sebabnya kau tidak lagi meminum kopimu selama beberapa bulan terakhir? Apakah itu sebabnya kita lagi bercengkrama menjelang senja membicarakan itik-itik yang kita pelihara? Apakah itu sebab kau tidak lagi merasa perlu jemariku untuk membetulkan kerah kemejamu?  Berjuta apakah yang lain segera saja memenuhi kepalaku.

Aku mengela napas panjang. Aku harus mengatakan sesuatu pada perempuan ini.

“Akan kupertimbangkan...” Ujarku pelan.

Wajah itu perlahan mengendur. Tangannya meraih cangkir dan mulai menyesapnya dengan lega.

“ Terima kasih mbak...ini sangat berarti bagi saya. Maafkan saya...sungguh..tapi saya benar-benar berterimakasih...”

“Mohon...pulanglah...biarkan saya sendiri...” Kataku, “Lagipula tidak baik bagi janinmu jika pulang terlalu malam...”

Ia meraih tanganku, memegangnya dalam beberapa detik yang menyiksa, dan menatapku penuh rasa terima kasih. Ia perlahan melangkah keluar.

“Tunggu,” Kataku. Tiba-tiba aku ingin menanyakan ini.

“Hmm... apa kau sering membuatkan kopi untuk mas Wisnu?”

Ekspesinya heran, dan perlahan ia menggeleng

“Hmm..tidak mbak..Dia bilang dia tidak suka kopi..”

***

Bubuk kopi itu kujerang. Kuperhatikan pasir-pasir hitam itu perlahan larut dalam air yang perlahan mendidih. Aku masih ingat ketika kau berbicara bahwa menghasilkan crema[i] dalam espressotidak bisa sembarangan. Kau bilang sebagian CO2 yang tersimpan dalam biji kopi pasca pembakaran, hanya akan bereaksi ketika terpapar air bersuhu tinggi. Hanya dengan cara itu ribuan gelembung mikroskopik yang muncul akan menjelma menjadi crema yang membuat espressoistimewa.

Meski saat itu aku tidak mengerti sepenuhnya kata-katamu, tak sedetikpun aku mampu memalingkan wajah. Menikmati detik-detik ketika secara serius kau mengajariku membuat espresso. Geli rasanya waktu kau mengatakan betapa menyenangkan memiliki coffee shoppribadi di rumah dengan aku sebagai baristanya.

Kumaksimalkan panas api dari kompor sesuai instruksimu. Kau selalu bilang, selain memang untuk menghasilkan ekstraksi sempurna, air yang mendidih membuat kopi menjadi social drink. Konsep yang lagi-lagi membuatku mengerutkan kening. Aku ingat kau tertawa melihat ekspresiku. Secangkir kopi  adalah medium untuk berbagi diantara para penikmatnya. Menurutmu, untuk mencapai suhu yang wajar untuk diminum, dibutuhkan rentang waktu yang tidak sebentar. Momen menunggu itu, adalah waktu yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati. Asap yang mengepul perlahan dari permukaan kopi seakan menguapkan segala beban. Aku tersipu ketika kau mengatakan bahwa, aku adalah teman yang tepat untuk berbicara dalam momen itu.

Air mengelegak. Aroma khas mulai menguar. Gelembung-gelumbung kecil muncul membentuk buih-buih halus kecoklatan. Ah...bubuk kopi. Apakah harus seberat itu perjalananmu untuk memiliki aroma seharum ini? Dijerang panas sedemikian rupa hanya untuk mempersembahkan aroma untuk dihirup pihak lain. Sesuatu yang justru menyiksamu. Apakah harus selalu sehebat itu alam mengujimu untuk memuaskan lidah-lidah yang menuntut rasa terbaikmu? Mengapa mereka begitu egois?

Aku tergugu.

Hai kopi..apa yang kau rasakan di dalam sana? Apakah takdir kita harus serupa? Bahwa kita harus didera untuk menjadi yang terbaik. Bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk orang lain. Mengapa untuk menjadi harum dan beresensi, tahap menyakitkan ini harus kita lewati? Mengapa harus aku yang berkorban demi perempuan itu dan janin yang dikandungnya? Tolong jawab aku.



Kubiarkan airmata itu deras.  Maaf jika kopimu asin, sayang. Aku sungguh tak ingin tangis ini terlacak. Namun tetesnya terlanjur lekat dan mustahil untuk dipisahkan. Kuharap manis tetap mampir di lidahmu yang hampir tak lagi berkata-kata. Sungguh, aku ingin hari ini semua bisa terjawab. Tentang mengapa kau berhenti meminum kopi pagimu. Tentang bagaimana kau menghabiskan senjamu tanpa lagi bercengkrama dan menertawakan banyak hal bersamaku. Tentang dia yang kini kau cintai. Tentang jarak yang terentang diantara kita setelah berita tentang mustahilnya tawa bayi di rumah kita. Tentang tanah yang tidak lagi mampu kita jejak. Tentang tanganmu yang tak lagi terentang untuk mendekap. Aku sungguh ingin tahu. Aku sungguh ingin punya alasan untuk melepaskanmu. Jika kau ingin aku seperti bubuk kopi, mungkin inilah saatnya. Jika itu yang kau inginkan, aku bersedia.

Kuhela napas panjang. Ini kopimu sayang. Kuharap ekstraksi kopi ini sempurna. Setelah mungkin selama ini kau bungkam soal ketidaksempurnaan kopiku. Biarlah ini menjadi penutup yang manis. Mungkin kopi ini tak lagi hangat ketika kau datang nanti. Tapi kuharap tetap bisa menemani kita berbicara.  Kuharap kau tetap bisa merasai cinta pada setiap tetesnya, karena jika kau menolak untuk meminumnya, aku sungguh tak lagi punya  cara untuk mengatakannya. (Esme)

[i] Bagian atas kopi yang berbentuk buih seperti krim yang terbentuk akibat ekstraksi kopi yang sempurna.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.