Pelengah Waktu




oleh Mey Anza


Semerbak aroma rumput basah membaui dua lubang hidung. Hawa sejuk pun turut menyelimuti tubuh nan muyung. Muyung diterpa hembus angin terus menerus. Karena faktanya cakrawala menyuguhkan kembali awan mendung.

Sepasang anak kembar saling melempar tanya di kamar. Mereka berbicara tentang waktu yang berputar. Diawali oleh rasa heran sang adik atas angka 24 pada lingkaran jam. Lanjut tanya sang kakak yang menunjuk kertas putih berisi jadwal harian. Sang kakak terus bertanya, mengapa harus bangun saat langit masih gelap. Padahal teman sebayanya biasa bangun 30 menit menjelang berangkat sekolah. Ia pun bertanya mengapa harus ada jadwal tahfiz di waktu siang. Sedangkan kawan mainnya tak bosan mengajak main sepeda. Sekali lagi ia bertanya mengapa harus les bahasa dan matematika di akhir pekan. Dimana teman-temannya berpeluh keringat bermain bola.

Mendengar barisan tanya sang kakak, adikpun turut mengurai tanya serupa. Masih seputar menit-menit waktu yang dilaluinya. Mau tahu sang adik bertanya apa? Mengapa waktu itu ada dan apakah waktu akan usai? Bila ia, kapan itu kan tiba? Itulah tanyanya.

Sang kakak yang duduk bersebrangan dengan adiknya terperanjat. Ia tak menyangka adiknya punya tanya sedemikian dahsyat. Bahkan tak pernah terpikir olehnya yang lebih tua lima menitan. Lalu kedua kakak beradik itu pun larut dalam awan pikirnya. Berupaya mencari jawaban untuk semua tanya yang tersirat. Namun apa daya tak satupun terjawab, karena mereka hanya dua lelaki muda bukan malaikat.

Tanpa disadari keduanya, sesosok wanita cantik mengamati perbincangan mereka. Ia adalah bunda. Wanita paruh baya yang berjuluk wanita perkasa. Bagaimana tidak, sebagai ibu ia berperan ganda dengan menunaikan juga peran ayah. Bunda tergelitik untuk bicara lalu melangkah santai menuju ranjang tingkat dua.



“Anak-anakku sayang” Buka bunda sembari merangkul mesra kedua jagoannya.  Dibalas senyum hangat oleh anak-anaknya.

“Nak, waktu merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kita. Ia ada sebagai pengingat agar kita tidak lalai dan terlena oleh nikmat dunia. Agar kita sadar bahwa hidup di dunia hanya sekejap. Ibarat nafas yang terhirup tak mungkin bisa keluar, pun denga  waktu yang terlewat tak mungkin akan kembali. Itulah mengapa seorang sufi bernasehat, “Waktu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya, maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” Dan kakak harus mulai memahami bila waktu yang kakak gunakan untuk tahfiz, les bahasa, atau les matematika. Itu semua adalah pelengah waktu, agar kakak tersibukkan dengan kegiatan yang positif. Meskipun bermain bola atau sepeda pun kegiatan yang positif tapi perlu ada perencanaan agar waktu yang ada tidak terbuang sia-sia.” Panjang lebar bunda memaparkan perihal waktu. Kedua putranya pun menyimak amat serius.

“Betapa berharganya waktu yang kita miliki. Sampai-sampai banyak kalam Ilahi mengingatkan akan hal ini. Salah satunya riwayat hadist Bukhari, “Dunia itu akan pergi menjauh sementara akhirat akan lebih mendekat. Dunia dan akhirat memiliki anak, maka jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Di dunia adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan. Sementara di akhirat adalah hari perhitungan dan bukan hari beramal.” Maka berjanjilah anak-anakku bahwa kalian akan menggunakan waktu kalian sebaik mungkin. Sebermanfaatnya dan seberharganya, karena waktu yang terbuang percuma hanya menjadi sesal. Berjanjilah…” ungkap sang bunda dengan suara sedikit lirih. Di aamiini dengan pelukan kasih diantara tiga hati yang saling bertaut emosi.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.