Rinduku di Kampus Putih Biru
Ditulis oleh Rahma Djati Kusuma
Mataku
mengerjap-ngerjap memandangi bangku kosong di depan ruang admin jurusan kampus,
IT Telkom, salah satu kampus swasta paling tersohor di Indonesia. Ingatanku
lalu terlempar pada detail dua tahun lalu yang masih sangat lekat tanpa cela.
Rentetan kejadian yang tidak akan ku lupa.
“Rahmad!”
suaraku membuatnya menoleh.
Gerakan
yang sangat ingin kuabadikan dan kuputar berulang dalam mode diperlambat. Ada sesuatu
yang membuatku ingin dia tetap tinggal. Dan hari itu jelas bukan hari yang kutunggu-tunggu
karena hari itu adalah hari dimana dia diputuskan tidak berstatus mahasiswa
lagi. Itu juga berarti dia akan segera meninggalkan kampus, meninggalkanku,
meninggalkan ribuan jejak di setiap sudut kampus yang bisa kulihat.
Sebelum
aku bercerita lebih jauh, aku merasa perlu memperkenalkan siapa aku dan siapa
laki-laki yang ingin kuabadikan tatapannya itu. Laki-laki yang bernama Rahmad.
Laki-laki yang sama sekali tidak meninggalkan kesan istimewa pada perkenalan
pertama kami. Tapi kesan biasa itulah yang justru menjadikan kami cair tanpa
ada sekat atau sikap yang dibuat-buat. Rahmad adalah laki-laki yang paling
kupercaya di kampus. Dia tahu hampir semua hal tentangku. Aku tak tahu
sepenting apa keberadaanku buatnya. Aku hanya tahu aku membutuhkannya dan dia
selalu ada bahkan sebelum kuminta. Dia adalah pribadi yang tertutup, selalu
menjadi pendengar yang baik, memberikan saran-saran logis yang tidak pernah
terbersit dalam kerangka berpikir wanitaku. Dia selalu menawarkan bantuan, dan
dia selalu berhasil membuatku tertawa.
"Eh, lo Sil. Nggak ngasih selamat nih?", Rahmad berujar enteng dengan senyum lebarnya.
"Iya kaaaak ini gw mau ngucapin. Selamat yaa! Sarjana Teknik ih keren banget. Udah bukan mahasiswa lagi."
"Hahaha, makasih yak. Buruan nyusul makanya biar tahu kaya apa rasanya jadi sarjana."
Rahmad berlalu, membereskan administrasi sidang kelulusannya. Bisa kubayangkan betapa berbunga-bunga hatinya saat ini. Dan aku… Perasaanku, jauh lebih kompleks dari yang ku kira. Aku senang kakak tingkat favoritku lulus tepat waktu dengan nilai A, aku senang perjuangannya selama ini berbuah manis. Aku tersenyum dan aku mengucapkan selamat, tapi di balik itu ada setitik rasa kehilangan. Aku tahu dia akan segera pergi dari sini.
"Eh, lo Sil. Nggak ngasih selamat nih?", Rahmad berujar enteng dengan senyum lebarnya.
"Iya kaaaak ini gw mau ngucapin. Selamat yaa! Sarjana Teknik ih keren banget. Udah bukan mahasiswa lagi."
"Hahaha, makasih yak. Buruan nyusul makanya biar tahu kaya apa rasanya jadi sarjana."
Rahmad berlalu, membereskan administrasi sidang kelulusannya. Bisa kubayangkan betapa berbunga-bunga hatinya saat ini. Dan aku… Perasaanku, jauh lebih kompleks dari yang ku kira. Aku senang kakak tingkat favoritku lulus tepat waktu dengan nilai A, aku senang perjuangannya selama ini berbuah manis. Aku tersenyum dan aku mengucapkan selamat, tapi di balik itu ada setitik rasa kehilangan. Aku tahu dia akan segera pergi dari sini.
Dia datang begitu saja dan ingin pergi begitu saja, tanpa tahu betapa sulit menghapus bayangannya di setiap sudut kampus yang tampak oleh mata.
Empat
tahun kemudian…
Kampus masih
tampak sama sekilas. Pohon-pohon masih tegak di tanah tempatnya menyerap
nutrisi, gedung-gedung masih kokoh dan tampan dari kejauhan. Lorong-lorong,
yang kata orang seperti lorong rumah sakit, masih sama misteriusnya. Semua
masih sama kecuali dua hal, pertama bahwa aku bukan lagi mahasiswa dan kedua
adalah bahwa orang-orang berseragam putih biru yang kutemui kini asing. Aku
masih dikenal, disapa banyak orang, walaupun dengan sapaan ‘kak’ bukan lagi
namaku seperti dulu. Aku tak lagi menemui sebayaku, orang-orang yang bisa
dengan bebas kuteriaki dari jarak belasan meter. Aku tak bisa sebebas dulu
berjalan berjingkat-jingkat sambil sesekali melompat mencoba meraih kayu-kayu
di atap lorong kampus. Saat ini ada predikat yang harus kujaga. Aku adalah
dosen muda yang baru diangkat di kampus tempatku mendapatkan gelar sarjana.
Jumat, 23 Desember 2017. Matahari Bandung
bersinar terik, menyengat setiap penghuni Bandung pinggiran yang sering disebut
Bandung coret. Dayeuhkolot tak terkecuali. Siang ini aku berjalan melewati
lapangan futsal. Senyap. Hanya ada beberapa rompi seragam dijemur, didiamkan
begitu saja di lantai lapangan yang memantulkan panas terik.
Mataku menoleh ke satu sudut lapangan yang
begitu familiar. Ada sesosok bayangan di sana, tengah duduk memegang botol
minum, menoleh dan tersenyum. Ia mengerjap, bayangan itu hilang dalam kedipan
mata. Ini bukan kali pertama. Dulu aku percaya bayangan seperti ini adalah
hantu, tapi belakangan aku sadar ini rindu.
Aku terus berjalan, berharap apa yang baru
saja kulihat adalah nyata.
Berjalan menyusur lorong sendirian melemparkan
ingatanku pada empat tahun lalu. Orang-orang dengan seragam yang sama tapi
dengan cerita yang berbeda. Dari ribuan mahasiswa kampus ini, yang tiap hari
berseragam putih dengan rok atau celana biru dongker, ada satu orang yang selalu
berhasil menangkap mataku. Ada satu orang yang setiap sapaannya ingin aku rekam
untuk diputar berulang. Ada satu orang yang hanya dengan senyumnya saja rasanya
masalah terselesaikan. Satu orang yang tatapannya saat menyimak cerita seperti
memberi solusi.
Ia teringat kutipan Kahlil Gibran dalam
bukunya Almustafa, “Dan selalu saja cinta menyadari kedalamannya ketika
perpisahan tiba.” Ah… Selalu pula, rindu menemukan pemiliknya ketika jarak
menjadi sesuatu yang bisa diukur.
Banyak orang memilih jujur ketika rindu, aku
jelas bukan salah satunya. Cukuplah mengirim kode-kode yang hanya kupahami
sendiri. Menyapanya dalam dialog dengan Tuhanku.
Ia berakhir di depan gedung tempatnya mengenal
laki-laki itu, mahasiswa yang selalu berhasil menangkap matanya. Rindunya
menemukan pemiliknya. Rahmad.
Leave a Comment